Ulasan Buku Kekasih di Puncak Mabuk karya Aslan Abidin

Aslan Abidin merupakan kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan, pada 31 Mei 1972. Ia menyelesaikan kuliah pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Hasanuddin, pada tahun 1997. Ia kemudian melanjutkan studi Ilmu Sastra di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta hingga lulus pada 2011. Gelar Doktor Ilmu Linguistik berhasil diraih di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin. Pernah bekerja sebagai redaktur di Harian Pare Pos, Tribun Timur, dan Pedoman Rakyat di Makassar dan kini ia aktif sebagai Ketua Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Makassar. Selain itu, ia jugaa merupakan dosen di Program Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar, pendiri Institut Sastra Makassar (ISM), serta sastrawan hebat dari Makassar.

Di tengah kesibukannya menjalani profesi sebagai dosen, ia tidak pernah berhenti berkarya dan justru semakin menegaskan dirinya sebagai salah satu penulis produktif di Makassar. Karya-karyanya lahir dari perenungan yang mendalam dan kepedulian terhadap persoalan manusia maupun kehidupan sosial sehingga memberi warna tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia. Beberapa karya yang telah diterbitkannya, antara lain Orkestra Pemakaman (2018), Menanti Rakyat Bunuh Diri (2020), Bagian Paling Perih dari Mencintai (2020), dan Kekasih di Puncak Mabuk (2023).

Sinopsis Buku Kekasih di Puncak Mabuk

Sumber: Divapress Online

terlentang kearah matahari. tanah subur.

mata mengerjap ditinpa sinar. menakar

kedalam, menanam benih, terbayanng bunga

mekar bergetar, buah berguncang.

tegalan gembur. begitu gegap kita garap.

bagai gemuruh musim hujan, kita sergap-

menyergap. “terus, benam lebih dalam,”

Katamu menatap rindang. ya, aku paham.

Kekasih di Puncak Mabuk adalah kumpulan puisi yang menghadirkan ledakan diksi penuh metafora lugas, berani, liar, jujur, dan sesekali bergelora dalam nuansa psikedelik. Aslan Abidin menulis dengan keberanian untuk menelanjangi perasaan manusia yang paling rawan, yaitu romantik, kehilangan, amarah, dan kerinduan, lalu meramunya menjadi sajak-sajak yang memabukkan dan menggetarkan. Dalam setiap bait, ia seolah menolak untuk tunduk pada kepalsuan dan tegas menentang segala bentuk ketimpangan yang terjadi di sekitar kita. Buku ini bukan sekadar himpunan puisi, melainkan gambaran dari kegelisahan yang mendalam, perjalanan batin yang psikedelik, seruan perlawanan yang halus, sekaligus perayaan atas kerentanan manusia yang apa adanya.

Uraian Tema dan Kekhasan

Buku Kekasih di Puncak Mabuk yang diterbitkan oleh Penerbit Basabasi berisi 82 halaman dengan 35 puisi yang mengangkat beragam tema penting, mulai dari romantik, eksistensial, hingga kritik sosial. Tema romantik hadir dalam bentuk permenungan tentang cinta yang rawan, getir, sekaligus penuh gairah. Tema eksistensial tampak dari kegelisahan penyair dalam menghadapi hidup, tubuh, dan kesadaran diri yang terus diguncang pertanyaan-pertanyaan mendasar. Sementara itu, kritik sosial terwujud dalam sikap penolakan terhadap ketimpangan dan kepalsuan yang melingkupi realitas sehari-hari.

Kekhasan buku ini terletak pada artikulasi puitis Aslan Abidin yang konsisten dan berani menjadikan tubuh, baik bagian luar maupun bagian dalam sebagai simbol untuk menyingkap pengalaman manusia. Tubuh hadir bukan sekadar citraan fisik, melainkan sebagai ruang metafora yang melahirkan lapisan makna baru. Dari sana, lahir sajak-sajak yang penuh metafora, menimbulkan efek psikedelik, dan memberi pengalaman membaca yang intens, liar, sekaligus renungan. Tema yang kuat berpadu dengan kekhasan gaya inilah yang menjadikan Kekasih di Puncak Mabuk menjadi sebuah karya yang tidak hanya menggugah emosi, tetapi juga menantang daya tafsir pembaca.

Lebih jauh, perpaduan tema romantik, eksistensial, dan kritik sosial dengan gaya puitis yang psikedelik menciptakan pengalaman membaca yang mendekati metafisis. Puisi-puisi dalam buku ini tidak hanya menyajikan estetika kata, tetapi juga mengajak pembaca memasuki lorong batin yang berlapis, lorong tentang cinta, tubuh, dan realitas sosial yang sering kali penuh luka. Dengan demikian, Kekasih di Puncak Mabuk bukan hanya sekadar kumpulan puisi, tetapi juga sebuah perjalanan intelektual dan emosional yang menyentuh kedalaman jiwa.

Gaya Bahasa dan Citraan

Gaya bahasa dalam Kekasih di Puncak Mabuk begitu kental dengan metafora yang terus-menerus didekonstruksi, seakan Aslan Abidin ingin membongkar cara konvensional dalam membaca realitas. Metafora-metafora itu tidak berhenti pada keindahan kata, melainkan dipelintir, dipatahkan, lalu dihidupkan kembali dalam bentuk baru yang lebih liar dan mengejutkan. Dari sana lahirlah puisi-puisi yang tidak hanya menghadirkan pengalaman estetik, tetapi juga menantang pembaca untuk masuk ke ruang tafsir yang tak terbatas, di mana kata tidak pernah selesai memberi makna.

aku mencium hajar aswad

dan dikeluarkan seolah murtad

dari sekolah.

(Hajar Aswad, 2023: 11)

Pada bait di atas menghadirkan metafora religius yang kuat sekaligus provokatif, mempertemukan simbol kesucian dengan pengalaman sosial yang penuh ironi. Kontras antara sakral dan duniawi ini melahirkan citraan tajam yang tidak hanya mengguncang imajinasi pembaca, tetapi juga menyingkap keberanian penyair dalam mendekonstruksi bahasa sebagai medium kritik sosial.

Dalam buku Kekasih di Puncak Mabuk, citraan yang dihadirkan begitu kuat, terutama citraan visual yang memunculkan gambaran nyata sekaligus psikedelik. Aslan Abidin menghadirkan perasaan yang berlapis, samar batas antara realitas dan halusinasi, sehingga pembaca dibawa pada pengalaman puitis yang memabukkan. Kekayaan metafora dalam puisi-puisinya menjadikan citraan ini bukan sekadar hiasan bahasa, melainkan ruang persepsi baru yang membuka tafsir mendalam tentang cinta, tubuh, dan kehidupan sosial.

Pasien menghiba semua nama

aku dicipta tanpa jiwa dan biji mata,

orang mengutus aku berdiam di kota-

kota bising penuh gemerlap gempita,

sesak orang-orang lalulalang bergaya.

(Kemaluan Maneken, 2023: 50)

Pada bait di atas citraan visual yang dihadirkan begitu kuat, menampilkan tubuh yang terfragmentasi dan kehilangan jiwa di tengah hiruk pikuk kota. Gambaran ini memunculkan suasana psikedelik yang samar antara nyata dan halusinasi, sehingga pembaca seakan-akan dibawa menyelami keterasingan manusia di tengah gemerlap sosial yang menyesakkan. Imaji tersebut tidak hanya menghadirkan visual yang dramatis, tetapi juga menyimpan kritik sosial yang eksistensial terhadap kehidupan modern.

Sebagai penutup, buku Kekasih di Puncak Mabuk bisa dibaca sebagai pengalaman puitis yang liar sekaligus penuh renungan. Melalui metafora yang berani, citraan yang kuat dan psikedelik, serta keberanian menyentuh ranah religius maupun sosial, Aslan Abidin menghadirkan puisi-puisi yang tidak hanya indah, tetapi juga kritis. Buku ini pada akhirnya menjadi ruang tafsir terbuka, mengajak pembaca merenungi cinta, tubuh, dan kehidupan modern dengan cara yang jujur dan tajam.

Referensi:

Abidin, A. (2023). Kekasih di Puncak Mabuk. Basa Basi.

Penulis: Yusril Saputra